Come in with the Rain
Prolog
Temaram cahaya lampu jalan.
Dalam dekapan Sang Malam teriring nyanyian hujan yang tiap tetesnya membawa kesejukan.
Kepingan cerita tersusun rapi dalam puzzle kehidupan
Aku ingin segera menuliskan kisahku. Membebaskan imajiku mengembara mengarungi luasnya samudra kata. Merangkainya menjadi mantra dan mencari keindahan di setiap tutur katanya.
Aku ingin menguntai kisahku menjadi melodi yang indah, mendendangkan suara hati agar seluruh dunia tahu gema cintaku.
Temaram cahaya lampu jalan.
Dalam dekapan Sang Malam teriring nyanyian hujan yang tiap tetesnya membawa kesejukan.
Kepingan cerita tersusun rapi dalam puzzle kehidupan
Aku ingin segera menuliskan kisahku. Membebaskan imajiku mengembara mengarungi luasnya samudra kata. Merangkainya menjadi mantra dan mencari keindahan di setiap tutur katanya.
Aku ingin menguntai kisahku menjadi melodi yang indah, mendendangkan suara hati agar seluruh dunia tahu gema cintaku.
Deeza tak habis pikir atas apa yang tengah ia alami saat ini, suasana hatinya benar-benar kacau. Benci, amarah mendominasi setiap relung hingga dadanya penuh sesak. Banyak tanya yang terlintas di pikirannya namun tak satupun jawaban yang dapat menguraikan galau di hatinya. Kenapa dia bersikap seperti itu padaku? Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa secepat ini dia berubah menjadi orang lain? Batinnya. Tiba-tiba sentuhan lembut dan suara yang amat Deeza kenal, menyadarkannya untuk berpijak kembali di dunia nyata.
“Ada masalah, Dee? Abis kuliah ini kita keluar yuk, bareng Fia juga. Kayaknya dirimu perlu refreshing bentar deh. Dari kemaren aku liat, ada yang gak beres sama kamu. Hari ini udah siap cerita pan ke kita?” begitulah Meda, sahabat terbaikku (dan Fia) yang selalu hadir untuk menguatkan langkahku. Bertemu mereka di hari pertama kuliah hingga sampai pada detik ini adalah suatu hal yang luar biasa dan menyenangkan.
“Iya.. lepas kuliah ini kita ke Daun (cafĂ©-resto yang biasa jadi tempat ngumpul kami).” dengan segera aku iya-kan ajakan Meda dan kami kembali larut dalam pikiran masing-masing.
“Riz, gak kuliah? Dah siang ne,” suara Danang yang nyaring terdengar tak juga menggetarkan gendang telinga Fariz.
“Eh.. apa? Barusan kao bilang apa, Nang?”
“Kao tu kenapa sih, gak biasanya juga kayak gini. Udah deh, hidup terlalu berharga untuk kao siakan apalagi cuma buat bengong kayak gitu. Yuk ah,aku duluan. Ntar sore temuin Froze di basecamp ya, udah lama kita gak ngumpul en latihan.”
“Nang.. Nang.. aku gak kuliah ah hari ini. Males. En buat ntar sore, aku absen. Salam aja buat anak-anak.”
“Terserah kao aja, Boii. Aku dah paham masalahmu, tapi anak-anak Froze enggak. Kao bakalan lebih baik abiz maen ke basecamp. Percaya deh,” Danang berlalu hingga pundaknya tak lagi terlihat oleh Fariz.
Mungkin aja kata-kata Danang ada benernya. Baiklah, aku akan ke basecamp. See you, Froze, batin Fariz.
@@@
Awalnya, mereka berdua adalah sahabat karib yang dipertemukan di negeri abu-abu (baca; SMA). Teman-teman mereka berpendapat, mereka berdua adalah makhluk teraneh yang pernah ada di dunia. Fariz dan Deeza. Memiliki kesamaan dalam beberapa hal terutama musik. Keduanya menyukai musik. Yah.. bagi mereka musik adalah bahasa universal, bahasa kalbu yang indah berbalutkan nada yang harmoni dan sarat makna. Fariz, seorang yang cool, cerdas, realistis dan gak pernah macem-macem. Dia adalah vocalist band dari sebuah band yang ia dirikan bersama Danang , de Froze over namanya. Fariz juga mahir maen gitar, dan itu membuatnya ramai dibicarakan dimana-mana, terutama di lingkungan anak-anak cheer. Baginya, musik udah menjadi hal yang mendarahdaging sebab orangtuanya adalah seorang komposer yang cukup dikenal. Bermusik membuatnya semakin ekspresif dalam membuat sebuah karya yang apik. Sedangkan Deeza adalah turunan hawa yang cuek dan suka mengkhayal. Kesukaannya menulis, menulis apapun. Baginya kata-kata adalah mantra, deretan huruf yang bisa disulap menjadi syair serta kisah yang indah. Tapi kata-kata indah akan lebih sempurna bila diharmonisasikan, tentunya dengan musik. Deeza memang tak bisa bermain musik, dia hanyalah penikmat musik tapi musik telah memberi nafas baru dalam hidupnya.
Hingga pada suatu ketika ada ketegangan diantara mereka yang akhirnya menguap ke permukaan. Kebersamaan, kekeluargaan, serta kehangatan yang sama-sama mereka bangun harus tergerus oleh kebencian dan amarah yang tak dapat didefinisikan dari mana muaranya.
“Kamu itu kenapa sih? Baru aja dateng terus marah-marahin aku?” Deeza terperanjat melihat Fariz yang datang padanya dengan emosi yang tak bisa disembunyikan.
“Kamu itu yang kenapa. Dirimu tu kebanyakan ngayal. Cerita apa’an ne kayak gini. Ini tu mustahil banget. Kamu tau gak, cerita kamu yang sekarang gak ada nyawanya, gak hidup, Dee!!!” ungkap Fariz tanpa mempedulikan perasaan Deeza. Belum sampai Deeza membuka mulut Fariz melanjutkan kata-katanya,
“Dan ini, kliping lirik lagu yang kamu buat, aku kembalikan. Benda ini gak cocok di tanganku.” Fariz berlalu tanpa mengucap kata pamitan.
Hujan turun membasahi gersangnya tanah hitam, bersamaan dengan Deeza yang terduduk lemas di teras rumahnya. Kata-kata Fariz telah meruntuhkan segenap kepercayaandirinya, ada sedikit luka yang membekas di hatinya. Dan yang membuat Deeza semakin sakit ketika Fariz mengembalikan kliping lirik yang telah ia buat dengan sepenuh hati. Harusnya hal itu tak mengapa, tapi ada perasaan lain yang ada merasuki hatinya. Sebenarnya kliping itu adalah kumpulan lirik serta foto-foto mereka saat menghabiskan waktu bersama. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mempertahankan persahabatan mereka, sehingga Deeza berharap apa yang ia lakukan dapat mengingatkan mereka pada hal-hal yang menyenangkan yang pernah mereka lakukan bersama. Deeza memberikannya tepat di hari kelahiran Fariz sebagai kado ulang tahun . Tapi rasanya apa yang telah ia lakukan mejadi tak bermakna lagi saat kejadian tadi masih bersarang di benaknya. Tak terasa butiran bening di pelupuk matanya mengalir mengikuti irama Sang hujan.
Pertama kali aku tergugah
dalam setiap kata yang kau ucap
bila malam telah datang
terkadang ingin ku tulis semua perasaan
kata orang rindu itu indah
namun bagiku ini menyiksa
sejenak ku pikirkan untuk ku benci saja dirimu
namun sulit ku membenci…
Di ujung jalan, Faris keluar dari mobilnya dan berdiri menyandar. Di bawah guyuran hujan ia merenung. Gadis itu tak bersalah dan dengan bodohnya, baru saja aku telah melukai hatinya. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku melakukan ini padanya? Harusnya aku mengatakan yang sejujurnya tentang perasaanku pada dia, bukan membuatnya menangis seperti itu. Aku tak ingin merusak persahabatan yang telah kita bina, tapi aku juga tak bisa membiarkan perasaaan ini tanpa ada kepastian. Gumam Fariz dalam hati. Malam semakin larut, dinginnya angin malam berpadu dengan tetesan hujan membuat tubuh Fariz agak menggigil dan ia memutuskan untuk masuk ke dalam mobil serta beranjak dari tempat itu. Alunan Hero milik Mariah Carey menemani Fariz di sepanjang jalan menuju basecamp de Froze over.
It’s along road when you face the world alone
no one reaches out a hand for you to hold
you can find love if you search within your self
and the emptiness you felt will disappear…
@@@
(Yogyakarta 2010)
…jangan kau sesali segala yang telah terjadi
kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat
seakan hidup ini tak ada artinya lagi
syukuri apa yang ada hidup adalah anugerah
tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik…
(Jangan Menyerah, d’Massiv)
Sudah berkali kali lagu itu diputar dan mengalun pelan di kamar berukuran 3x4 berwarna hijau pupus milik Deeza. Mendengarkan sekaligus meresapi lagu itu membuat Deeza bangkit kembali menekuni aktivitasnya . Menuliskan beragam kisah dalam lembaran-lembaran kertas putih di atas meja belajarnya. Tentang sahabat, tentang keluarga, tentang dirinya dan tentang apapun hingga ia tak kuasa menggoreskan penanya. Di samping rutinitas kuliahnya yang cukup padat, Deeza mencoba menulis untuk mengisi waktu luangnya. Selain itu dia juga menjajal kemampuan komunikasi verbalnya dengan mengikuti forum broadcast learner. Dan Tuhan memberikan kesempatan emas baginya untuk ikut magang di salah satu televisi swasta.
“Dee, emang gak nyangka deh kalo mimpimu itu sekarang mulai terwujud. Dirimu udah bisa nunjukin apa yang dirimu punya,” kata Meda di suatu hari.
“Iya.. dan yang paling penting dirimu gak sia-sia nyampe sering ngayal kayak gitu. Jujur aja kita seneng jadi bagian hidup kamu, sekaligus iri juga pengen suatu saat bisa seperti kamu “ si Fia juga ikut menambahkan.
“Kalian juga pasti bisa seperti ini bahkan bisa lebih baik. Kalau kalian punya mimpi ya bermimpilah! Usahakan apapun yang terbaik untuk mimpi-mimpi kalian. Yang terpenting bukan seberapa besar mimpi yang kalian punya tapi seberapa besar yang kita lakukan, yang kita usahakan untuk semua mimpi-mimpi kita. Gimana?”
“Alright, sepakat.” ucap Fia dan Meda bersamaan sambil tersenyum yakin.
Memang benar apa yang diinginkan Deeza sebagian telah terwujud. Keinginan memvisualisasikan imajinya menjadi nyata dengan rangkaian kata serta keinginannya untuk belajar menjadi broadcaster telah mendapat tempat dan membuatnya semakin nyaman untuk berkarya. Teman, sahabat serta keluarga yang selalu ada di dekatnya juga tak pernah berhenti untuk memberinya suntikan semangat dan dukungan yang luar biasa. Namun ada yang mengganjal di hatinya. Ada celah di relung hatinya. Tapi apa?? Dirinya sendiri bahkan tak tahu.
@@@
“Nang.. Weekend depan kita manggung gak? Aku pengen rehat bentar pengen jalan-jalan sama Riza,” tanya Fariz sambil membantu Danang yang lagi menggulung kabel usai mereka latihan. Danang ini multitalent, selain jadi bassist de Froze over, dia juga kadang merangkap jadi manager Froze sekaligus tukang kabel alias seksi perlengkapan.
“Kayaknya sih kosong, Riz. Gak papa kok kalo kao mau jalan ama Riza. Kebetulan weekend depan aku ada janji ama seseorang, tentunya buat Froze ke depan. Jadi kita semua break dulu.”
“Gak ada capek-capeknya kao ini, bro. Thanks banget, Nang. Dedikasi kamu buat Froze emang patut diacungi jempol. “
“Dan Froze yang sekarang gak akan dikenal banyak orang tanpa kamu, Riz.” tambah Danang.
Malam itu Fariz termenung di balkon kamarnya ditemani secangkir cappuccino kesukaannya sambil menatap jutaan bintang yang sedang bermain mata. Pikirannya melayang, kembali pada saat ia berada di basecamp bersama Danang. Sepertinya aku harus menanyakan ini pada dia. Harus, batin Fariz. Segera ia kembali ke kamar dan mengambil ponsel. Ditekannya angka 5 dan dial up.. Danang Warsita.
“Danang Warsita di sini… ini dengan siapa? Ada keperluan apa ya?” sapa Danang dengan nada yang dibuat-buat.
“Kebiasaan. Nang.. Fariz ne. Ada yang pengen aku omongin ama kamu.”
“Sori, Riz.. becanda. Kenapa? Serius amat. Ngomongin apa ne, Froze, atau masalah….?”
“Tentang aku, Nang.” sahut Fariz cepat.
Dan percakapan itu terus mengalir hingga tengah malam. Danang adalah sahabat sekaligus kakak bagi Fariz. Merah-hitam Fariz telah diketahui Danang, begitu pula sebaliknya. Apapun yang sedang dirasakan, Fariz selalu membagi kisahnya dengan Danang tanpa ia minta. Seperti malam ini, Danang menjadi tempatnya berkeluh kesah.
“Kayak gitu Nang ceritanya, menurutmu gimana?”
“Kamu tu aneh banget, katanya kamu mau serius sama Riza, baru tadi sore lho kamu bilang. Dan tempo hari itu kamu juga bilang kalo kamu ngrasa udah klop ama dia. Tapi, kenapa sekarang dirimu ngrasa gak yakin kayak gitu?”
“Aku nanya kamu, Nang. Kok dirimu malah balik nanya? Tambah gak ngerti aku.”
“Sori..sori.. Aku sebenernya cuma punya jawaban klasik. Ikutin aja apa kata hati kamu. Saranku sih, kalo emang kamu yakin ama Riza ya jalanin aja semampu kamu, sesuai ama keinginan kamu. Tapi kalo sebaliknya, jangan pernah mengombang-ambingkan perasaan Riza karena itu justru akan melukainya sebab dirimu udah ngasih harapan kosong ke dia. Aku yakin dirimu bisa bikin keputusan yang benar. Just follow your heart, bro!” Danang mengakhiri percakapan malam itu.
Ada rasa tenang menyelimuti hati Fariz, namun ada sebuah teka-teki yang belum bisa ia pecahkan. Kata-kata Danang begitu terngiang dan membuatnya tak sanggup memejamkan mata menanti fajar tiba keesokan hari. Dia butuh waktu untuk memahami ini semua.
@@@
( Kota Metropolitan, 2012)
”Apa kabar Fi? Iya, aku juga baru aja ngobrol ama Dia. Aaahh, jadi kangen, pengen ngumpul di Daun. Ya ngabar-ngabarin gitu deh, katanya tahun depan dia mau tunangan. Apa, kamu udah tau Fi? Kenapa gak ngabarin aku sih? He’em, Meda sekarang lagi di Palembang. Oh ya, bisnis kamu di Bandung lancar pan? Kapan-kapan maenlah ke sini. Jakarta-Bandung pan gak begitu jauh. Fi.. Fi.. aku tutup dulu ya, entar aku hubungi lagi. Baiii.”
Buru-buru aku menekan tombol off di ponselku dan menatap seseorang beserta beberapa temannya yang tengah berjalan ke arahku. Dari kejauhan orang itu juga menatapku. Rasanya aku mengenal tatapan ini, tapi siapa?
“Deeza.. kamu Deeza kan?” tanya salah seorang dari gerombolan yang berdandan ala anak band itu.
Aku masih terpaku dan sibuk mengingat siapa orang itu. Aku mengingatnya tapi aku tak yakin aku mengenalnya.
“Danang ya, Danang Warsita?”
“ Aaaahh… ternyata kamu masih ingat. Kok kita bisa ketemu di sini sih, kamu ngapain di sini?”
“ Aku juga gak nyangka kita ketemu di sini. Aku kerja di sana, Nang.” Kataku sambil menunjuk ke arah gedung yang tinggi menjulang berlogo corporation di seberang sana.
“ Waw.. kamu sekarang jadi broadcaster ya? Eh, kenalin ini temen-temen band aku, tapi masih kurang satu orang nih.”
“Haii semua.. Deeza. Iya, Nang. Aku di bagian produksi, sekarang jadi FD *floor director untuk acara entertainment gitu.”
“Wah, berarti sibuk banget ya dirimu. Eh, besuk kita juga mau manggung lho di sana. Tapi lupa di acara apa. Baru diatur tu ama manager en temenku satu lagi, orangnya masi di belakang. Semoga kita bisa ketemu lagi ya.”
“Maybe.. Eh, aku duluan ya Nang. Harus balik lagi ke studio nih. Ayuk semuanya, Daaahhh…,” ucapku sambil melenggang.
“Deeza..!!!” Tiba-tiba Danang berteriak memanggilku, refleks aku menoleh dan membalikkan badan.
“Masi ingat sama Fariz?” teriak Danang.
Aku memastikan pendengaranku tak salah saat Danang menyebut sebuah nama yang telah lama tak terdengar gaungnya. Aku sontak menggeleng kepada Danang dan memberi kode padanya bahwa aku harus pergi secepatnya. Semakin lama langkah kakiku semakin melambat. Tiba-tiba ada perasaaan bersalah dan perasaan menyesal yang menyergapku. Seharusnya aku mengangguk saat Danang mengatakan itu tadi. Kenapa aku membohongi diriku sendiri? ucapku dalam hati. Fariz. Sebuah nama yang lama tak terdengar namun sekali saja terucap, dapat memberikan energi lain dalam kehidupanku.
“Yakin dirimu ketemu Dia, Nang? Dimana?” tanyaku saat Danang tak berhenti bercerita tentang apa yang baru saja ia alami.
“Tadi waktu jam makan siang.. dirimu sama mas Hendri lagi ngurusin buat perform kita besuk. Sayang banget tadi kao gak ada, padahal dirimu udah lama pengen ketemu dia pan?”
“Mungkin bukan kali ini, Nang.” kataku dengan nada yang melemah.
@@@
@ Studio tempat Deeza bekerja
“Ok, semuanya udah stand by di posisi masing-masing? Sipp.”
“Talent kita mana? Hah, belum keliatan? Oh, Ok. Masih di make up room?Lima belas menit lagi kita on-air… bla.. bla.. bla..”
“Thank you semuanya.. Kerjasama yang bagus. Good job.” kataku mengakhiri produksi hari ini. Acara on-air memang menguras banyak energi. Deeza sampai gak nyadar ada seseorang di sudut sana yang memperhatikan gerak geriknya.
“Deeza…” kata Fariz setengah berbisik tapi masih tetap terdengar jelas.
Yang bersangkutan mencari-cari siapa yang menyebut namanya. Deeza menengok ke belakang dan kilatan mata itu seolah berbicara padanya. Dia mengenal sosok itu.
“Hai.” jawabnya pendek.
Pembicaraan singkat dan terkesan kaku itu pun seolah memperlambat waktu yang sedang berputar.
“Maafkan... waktu itu… ,” kata-kata Fariz tak begitu terdengar jelas karena suara bising di sekitar mereka.
Deeza hanya mengangguk dan segera mohon pamit.
Dia tidak berubah. Dia tetap Deeza yang pertama kali aku kenal. Kata Fariz dalam hati. Perasaan-perasaan itu kembali menyusup dalam hati kecilnya. Sesuatu telah mengusiknya, sama seperti pada waktu itu.
Danang, Fariz, anak-anak de Froze over dan tentu saja mas Hendri, manager baru yang mengambil alih tugas Danang, sedang berkumpul di lobby. Mereka semua tengah asyik mengevaluasi perform mereka barusan.
“Seperti biasa Froze ngasi yang terbaik di setiap performnya. Cuma yang keliatan agak beda si Fariz tu.” komentar mas Hendri jujur.
“Lho, kok aku sih mas. Kenapa bisa gitu? Aku……”
Belum selesai Fariz ngomong dan sebelum yang lain ikutan komentar, Danang udah ngambil start duluan.
“Ada Deeza di dalam sana.” Singkat dan tepat sasaran.
“Iya kan, Riz?” Lanjut Danang yang gak sabar melihat Fariz yang hanya terdiam.
“Aku masih belum mengerti kenapa tiba-tiba aku merasakan energi yang berbeda hari ini. Yang pasti aku bersyukur penampilanku di sini tidak megecewakan.” jawab Fariz singkat.
“Nang.. aku mau bicara. Kita keluar yuk! Mas Hendri, nitip anak-anak ya.. sampe ketemu di markas Froze (basecamp Froze yang baru di Jakarta). Yuk semuanya.. Dadaah…” pamit Fariz. Danang menurut, mengekorinya di belakang.
@@@
Kiss me, beneath the milky twilight
lead me, out on the moonlit floor
lift your open hand, srtrike up the band
and make the fireflies dance
silver moon’s sparkling
so kiss me…
Sejak pertemuannya yang tak sengaja dengan Deeza di studio itu, selanjutnya mereka sering bertemu di luar jam kerja. Kadang Fariz mengajaknya lunch di suatu tempat , mentraktir kopi atau es krim di cafe pinggir jalan atau jalan-jalan menikmati senja sekedar untuk ngobrol ataupun sharing ide. Semua itu mereka lakukan untuk menyatukan kembali kepingan masa lalu yang telah lama terabaikan.
“Nang, gimana dengan Riza? Apakah dia mau menerima semua ini?”
“Riz, semakin cepat kao mengambil keputusan, semakin cepat pula kao mendapatkan titik terang dari kegalauanmu itu. Temui Riza sekarang, dia juga baru di Jakarta, kan? “
“Baiklah.. aku pergi. Semoga semuanya akan baik-baik saja.”
Fariz menghilang bersama jazz putihnya menuju kawasan Kemang, menemui Riza.
Tak ku sangka dirimu hadir di hidupku
Menyapaku dengan sentuhan kasihmu
ku sesali cerita yang kini terjadi
mengapa di saat ku telah berdua
maafkan bila cintaku
tak mungkin ku persembahkan seutuhnya
maaf bila kau terluka
karena ku jatuh di dua hati..
(Cinta Dua Hati, Afghansyah Reza)
@@@
Kemang, 08.00 pm
Setelah ku pahami ku bukan yang terbaik
yang ada di hatimu
tak dapat ku sangsikan ternyata dirinyalah
yang mengerti kamu
bukanlah diriku…..
(Bukan diriku, Samsons)
“Fariz, udah lama?” tanya Riza berbasa-basi.
“Ada apa kok kesannya buru-buru en tumben gini? Lanjut Riza, meskipun belum ada tanda-tanda Fariz akan merespon. Lama mereka terdiam.
“Riza, aku mau bicara. Tentang kita.” Fariz membuka kalimatnya.
“Mmmmhh.. ya, sebenarnya aku juga sudah tau arah pembicaraan ini. Fariz, dirimu tak perlu menjelaskan semuanya. Aku bisa membaca dari sorot matamu. Saat kamu membicarakan dia. Gaya bicaramu, raut mukamu saat menyebut namanya, aku tahu itu. Kapan pun, dimana pun dirimu tak pernah lupa menyebut satu nama itu. Awalnya aku tak suka, tapi semakin ke belakang aku mengerti. Hati tak bisa dipaksa. Dia tahu kemana akan berlabuh. Fariz, aku tidak mau hidup menjadi bayang-bayang orang lain. Dan aku.. aku selalu memintamu dalam berbagai hal, padahal kasih sayang itu tak perlu menuntut. Tapi berbeda dengan dia. Dia menjadi dirinya sendiri dan tak pernah meminta bahkan menuntut. Kasihnya tulus terlebih kepadamu.Deeza. Nama yang cantik sama seperti pribadinya yang menawan.”
Kata-kata itu mengalir lancar dari mulut Riza. Tak ada beban, tak ada dendam. Fariz masih terdiam, mencoba mencerna apa yang tengah terjadi. Ini di luar dugaannya. Belum selesai ia tercengang, Riza melanjutkan kata-katanya.
“Aku yakin Deeza memiliki perasaan yang sama. Jangan biarkan Deeza jatuh ke tangan orang lain. Karena orang yang paling tepat untuknya adalah orang yang sekarang duduk di depanku. Dan orang itu kamu, Fariz.” Riza tersenyum lega telah mengatakan semuanya.
“Kau yakin dengan apa yang baru saja kau katakan, Riza?”ungkap Fariz masih tak percaya.
“Absolutely. Temui Deeza, sebelum semuanya terlambat.”
Seulas senyum pun terkembang di bibir Fariz, begitu pula dengan Riza. Tanpa mereka sadari, keduanya merasakan kelegaan yang luar biasa, terlebih Fariz. Jiwanya telah bebas. Kini ia meniti titian notasi mencari harmoni , mengukir bait-bait indah yang teresonansi bersama dawai gitar dan terciptalah alunan melodi memuja Mahadewi.
Alam raya pun semua tersenyum
Merunduk dan memuja hadirnya
terpukau aku menatap matanya
aku merasa mengenal dia
tapi ada entah dimana
hanya hatiku mamampu menjawabnya
mahadewi resapkan nilainya
penantian ku pun usai suadah
mahadewi resapkan nilainya..
mahadewi tercipta untukku…
(Mahadewi, Padi)
@@@
Tiga tahun kemudian…
Di kawasan perumahan yang cukup asri, beberapa mobil terparkir rapi di sisi-sisi jalan. Tempaan sinar lampu jalan dan rintik-rintik hujan memberi kesan artistik bagi yang siapa saja yang merasakannya. Sudah lima hari ini Deeza kembali ke kampung halamannya untuk bersua dengan keluarga. Selain itu karena ada suatu hal yang membuatnya tak berhenti berucap syukur dan menyunggingkan senyuman.
Satu per satu orang-orang yang memarkir mobil di dekat rumah Deeza mulai masuk ke halaman. Harum semerbak minyak wangi menyeruak di segala penjuru. Deeza yakin, ia mengenal wangi ini. Mereka semua berkumpul di ruang tengah dan pembicaraan itu mengalir lancar sesuai dengan rencana. Sayup-sayup nada indah itu mengalun, menggetarkan hatinya.
Dengarkanlah wanita pujaanku,
malam in akan kusampaikan
hasrat suci kepadamu Dewiku
dengarkanlah kesungguhan ini
aku ingin mempersuntingmu
‘tuk yang pertama dan terakhir
Jangan kau tolak dan buat ku hancur
ku tak akan mengulang ‘tuk meminta
satu keyakinan hati ini
akulah yang terbaik untukmu
Dengarkanlah wanita impianku
malam ini akan ku sampaikan
janji suci satu untuk selamanya
dengarkanlah kesungguhan ini
aku ingin mempersuntingmu
‘tuk yang pertama dan terakhir…
(Janji Suci, Yovie n The Nuno)
@@@
Hari ini…
Di atas balkon, kami melihat rinai hujan yang sedari tadi yang tak kunjung mereda. Tiap tetes yang kami rasakan begitu menyejukkan. Memutar semua kisah yang pernah kami alami bersama, kejadian tak sengaja, peristiwa-peristiwa yang kebetulan dan hal-hal yang lain. Mengingatnya sama seperti memainkan potongan puzzle untuk membentuk kesatuan objek yang utuh.
Aku ingin segera menuliskan kisahku. Membebaskan imajiku mengembara mengarungi luasnya samudra kata. Merangkainya menjadi mantra dan mencari keindahan di setiap tutur katanya.
Aku ingin menguntai kisahku menjadi melodi yang indah, mendendangkan suara hati agar seluruh dunia tahu gema cintaku.
Hujan pun mereda.
Bulan yang tersapu awan mulai menampakkan ke anggunannya. Bintang malam yang setia mengerjapkan mata sebagai pelita alam.
If our love was a fairy tale
I would charge in and rescue you
on a yacht baby we would sail
to an island where we’d say I do
and if we had babies they would look like you
it’d be so beautiful if that came true
you don’t even know how very special you are
you leave me breathless
you’re everything good in my life
you leave me breathless
I still can’t believe that you’re mine
you just walked out of one of my dreams
so beautiful you’re leaving me
breathless….
Liontin itu berkilau memancarkan cahayanya. Berpendar indah bersama sisa tetesan air hujan bercampur dengan bau tanah yang masih basah karenanya. Sungguh perpaduan unik yang tak terlupakan. Satu hal lagi yang kami kagumi, tak hanya kata-kata dan musik yang menyatukan kami tapi juga hujan yang membuat kisah ini menjadi semakin indah. Kami tersenyum mengenang semua ini lalu menatap sebuah ukiran kecil ditengah liontin yang telah melingkar dalam genggamanku. F & D.
September 2010,
Di bawah alunan Kalammullah
penyejuk hati di kala gundah

2 comments:
speechless..
hanya ingat obrolan "nol kilometer" dbwah rintikan hujan yg stipis jarum..
sesunyi malioboro dkala malam..
>.<'
hehehe... speechLess knp non??
intiny makin prcya "hdup brawaL dr mimpi" :D
smg bagian dari dr hidup sy pny ending keik gni, amin :)
*ihhhhiiirrrr
Post a Comment