MATAHARI PUN BISA GERHANA
“Draaappp.” Langkahku terhenti ketika aku kembali melewati tempat ini. Koridor sunyi dan remang yang tak pernah sekalipun dilirik orang. Di ujung sana ada bangku panjang yang sedikit kusam, persis dengan apa yang aku lihat saat pertama kali aku tahu tempat ini. Hatiku tergerak, membawa diriku untuk singgah sementara di sana. Aku duduk merapat dengan dinding, menatap ke arah luar kemudian mengalihkan pandangan ke setiap sudut yang berbeda. Semuanya masih sama.
***
“Sendirian? Boleh duduk?” tanyaku pada seseorang yang sebelumnya belum pernah aku lihat. Tak ada jawaban, ia tak bergeming. Orang itu berpenampilan rapi layaknya ekskutif muda,bukan mahasiswa pada umumnya. Harum tubuhnya pun menyengat hingga menusuk indra penciumanku. Dia sedang asyik menghisap dan menikmati rokoknya.
“Eh, mas. Udah dari tadi?” ujarnya sambil mematikan rokoknya yang belum habis.
Aku hanya tersenyum.
“Kenapa rokoknya dimatiin? Gak sayang tuh?”
“Akan lebih disayangkan kalau aku duluan yang dimatiin daripada rokok itu,” ujarnya dengan nada yang sedikit ketus.
“Tenang aja, aku bukan mata-mata yang akan melaporkan tingkah-polahmu. Aku juga gak peduli. Toh, udah ada peringatan yang seharusnya terbaca oleh siapapun yang ada di sini. Oh iya, Danang.” kataku pada akhirnya.
“Devian,” sambil menyambut hangat uluran tanganku.
Hari itu ada tamu baru di koridor sunyi. Namanya Devian. Anak Ekonomi yang ternyata seangkatan denganku, semester tiga. Dia menemukan tempat ini tanpa sengaja, saat ia sedang tak ingin berada di kelas untuk mengikuti perkuliahan. Ternyata tempat ini menjadi labuhan pelariannya. Berbeda denganku, yang sengaja memakai tempat ini untuk mencari inspirasi, menuangkan segala beban dan tentunya menghindari keramaian. Dan pertemuan pertamanya denganku kali ini membawa kami mengenal satu sama lain.
Devian Martadinata. Dia putra tunggal seorang pebisnis ekspor impor di daerah Bandung. Dari awal dia tak pernah ingin menjadi Sarjana Ekonomi. Keinginan orang tuanyalah yang membuat ia terdampar di kota ini. Orangtuanya meminta ia untuk tetap berada di Bandung, tapi ia menolak dan memaksa untuk tinggal di Yogyakarta. Menurutnya, di sini ia akan lebih bebas menjadi dirinya tanpa belenggu dan tekanan dari siapapun. Sebenarnya keinginan Devian hanya satu, menjadi musisi.
“Mau jadi apa kamu, hah? Pemusik itu bukan pekerjaan. Hanya membuang waktu saja.Kamu itu pewaris nomor satu dari keluarga Martadinata. Kalau bukan kamu siapa lagi yang meneruskan bisnis papamu ini?” kata-kata pedas yang terlontar dari mulut papanya masih tertanam di hatinya. Bahkan saat ia menceritakan ini padaku, bahasa tubuhnya mencerminkan batinnya yang mengatakan bahwa ia tak setuju.
Setahun di kota ini tak membuatnya berubah menjadi lebih baik, menjadi yang diharapkan orangtuanya. Hanya sekejap mendengar sepenggal kisahnya aku mampu membayangkan dan menilai. Dia makin tenggelam dalam dunianya, sama sekali tak peduli dengan kewajiban dan amanat dari orangtuanya. Dan sepertinya hanya aku, seseorang yang kini menjadi teman terdekatnya harus membawanya kembali agar tak terperosok lebih dalam.
***
“Mbak Diana, ntar malam aku bisa diganti gak? Gantinya, pagi juga gak papa deh. Kayaknya Reza atau Damar bisa gantiin aku,” kataku sambil membujuk produser yang menghandle acaraku.
Wanita mungil dan berjilbab rapi itu menghentikan akivitasnya.
“Kamu mau pentas lagi? Acara kampus?”
“Bukan mbak,ini masalah pribadi. Ada yang harus aku selesaikan. Boleh ya, mbak?”
“Aku tu sampe heran sama kamu, Nang. Kamu tu anak sastra apa anak psikologi sih? Kirain cuma di sini aja kamu jadi juru nasehat, ternyata di luar juga to? Terus sastranya mana? ujar mbak Diana setengah bercanda.
“Hahaha.. mbak Di tu bisa aja. Ya tetep anak sastralah, mbak. Kebetulan aja yang terekspos sisi yang itu, lagian salah sendiri nempatin aku di rubrik konsultasi, ya semakin menggila. Terus gimana nih, diizinin atau enggak?”
“Iya, Boleh. Tapi kali ini aja lho ya. Emmm, soal pengganti Damar aja deh. Kasihan si Reza udah banyak schedule dia. Satu lagi, besuk jangan lupa siaran pagi bareng sama Reza.”
“Siaaappp.. Boss. Makasih banyak mbak Di,” akhirnya negosiasi ini berjalan lancar, begitu pula yang aku harapkan di malam nanti. Semoga ada titik terang, batinku.
***
Aku membereskan barang-barang di atas meja kerjaku dan menyimpan semua modul kuliah di file box yang sama. Dilanjutkan memasukkan beberapa baju di box berikutnya. Aku jarang berada di kontrakan, hari-hariku cukup padat di sekitar kampus, padepokan teater, ruang siaran hingga meja kerja ini. Dan di tempat inilah (selain di koridor sunyi), di salah satu station radio swasta, tempatku bekerja paruh waktu, aku melampiaskan semua penatku, untuk sekedar bersantai dan tidur di sela-sela waktu luang.
“Nang, berangkat sekarang? Entar aja kenapa, jam delapan sekalian.” ujar Damar yang tiba-tiba melongok di atas bilikku.
“Elo, Dam. Kalau jam delapan, sama aja aku yang siaran. Sia-sia dong, tadi pagi aku nemuin mbak Diana ama ngebujuk dia buat mindahin jadwal Lo,”
“Mau kemana sih? Buru-buru ya?”
“Mau tau aja. Udah ya, selamat berjuang Bro. Bye,” aku melambaikan tangan pada Damar yang masih tak bergerak dari bilikku.
Malam ini aku sengaja pergi untuk melihat ‘dunia malam’ Devian. Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar yang kurang mengenakkan tentang dirinya. Kabar itu pun kian merebak hingga aku sendiri kesulitan menemui Devian di satu waktu bahkan di koridor sunyi sekalipun. Ia jarang terlihat, tak ada cerita yang mengalir darinya. Tak ada yang tahu pula keberadaannya. Kabar terakhir yang ku dengar, universitas akan mengambil tindakan tegas apabila dia tak kunjung menampakkan batang hidungnya dan memperbaiki citra universitas yang terlanjur buruk. Dia terancam DO.
Aku memutar arah dan masuk ke area parkir tempat hiburan malam. Di Club malam inilah Devian biasanya kongkow bersama teman-temannya. Freed putih itu aku biarkan berderet rapi dengan kendaraan yang lain. Ku tekan pengunci otomatis kemudian melenggang menuju bangunan megah beraksen metropolis itu.
Dari kejauhan, samar ku lihat sosok Devian. Benar, orang itu adalah dia. Dia duduk menghadap bar dengan berbotol-botol alkohol dan jarum suntik di depannya. Aku sedikit ragu tapi akhirnya aku berjalan mendekati dirinya. Bau parfumnya yang biasa merebak kalah telak dengan bau alkohol yang begitu menyengat, ditambah dengan kepulan asap rokok yang ia hisap dengan sadis. Devian mabuk berat. Aku masih terdiam menunggu reaksinya. Sadarkah ia dengan kedatanganku.
Devian menoleh ke arahku. Seperti mencoba mengingat sesuatu. Ia kembali meneguk minumannya lalu tersenyum sendiri. Ia lalu terdiam larut dalam pikirannya sendiri hingga akhirnya menggumam dan memaki-maki tak jelas. Ini jelas bukan saat yang tepat untuk berbicara dengannya, ucapku pada diri sendiri. Aku melangkah menjauh tetapi tetap terfokus padanya.
“Brraaaakkk!!!” Gebrakan keras di atas meja, mengagetkan seluruh pengunjung di malam itu. Semua mata tertuju pada satu titik, seorang yang tengah berada di bar. Devian. Beberapa orang yang tak dikenal menghampiri dirinya.
“Buukk.. buuukk.. buuukkk,” pukulan yang bertubi-tubi melayang keras di tubuh Devian tanpa perlawanan. Tubuhnya yang tegap namun ringkih, terkulai lemah dihajar rombongan bertubuh besar. Darah segar mengalir di sekujur tubuhnya. Ia dibiarkan tergeletak, mencoba menahan nyawanya sendiri dengan sisa tenaga yang ia punya. Kejadian itu berlangsung cepat. Orang-orang bertubuh besar itu lalu meninggalkannya tanpa belas kasihan.
Aku melesat menghampiri Devian yang sudah tak sadarkan diri. Di bantu oleh security, aku membawanya masuk ke dalam mobil dan berpacu melawan waktu, berharap masih ada kesempatan untuk Devian mendapatkan perawatan.
***
Devian tak lagi berada di ruang ICU. Sudah seminggu ini ia diperbolehkan kembali ke rumahya. Dan untuk kesekian kali aku bertandang di rumah ini, rumah yang tak jauh dari jantung kota Yogyakarta. Devian berada di kamarnya saat aku datang. Sebatang rokok tak lepas dari belahan jarinya. Dia memintaku untuk mendekat, mendengarkan kisahnya, menampung seluruh keluh kesahnya.
“Makasih, Nang. Makasih dirimu udah mau jadi temanku. Dan untuk koridor sunyi itu, makasih dirimu mau berbagi tempat itu denganku. Padahal aku selalu mengotorinya dengan setan kecil ini,” kata Devian sambil memainkan batang rokoknya dengan lincah namun dengan nada yang sedikit melemah.
“Sama-sama, Dev. Sungguh aku gak nyangka kalau akhirnya jadi seperti ini. Terus rencana kamu selanjutnya?” tanyaku hati-hati.
“Balik ke Bandung. Nurutin kemauan ortu. Biar puas sekalian mereka mendoktrin diriku.Tapi aku gak akan kalah,Nang. Aku akan tetap menjadi diriku, menjadi apa yang aku mau.”
Orangtua Devian telah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Selama ini Devian menyangka tak ada pengawasan dari orangtuanya, tapi ia salah. Orang kepercayaan yang tinggal bersama Devian di rumahnya, di Yogyakarta memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Hingga pada akhirnya orangtua Devian memintanya kembali ke Bandung dan segera menyelesaikan urusan pengunduran diri dari universitas.
“Nang, aku hargai usahamu untuk selalu ngingetin aku. Dan bolehlah orangtuaku lega dengan kepulangan ini. Tapi aku bukanlah yang mereka mau. Hidupku, band yang aku rintis, semua yang aku miliki ini juga tak akan berubah. Aku masih muda, Nang. Gak ada yang bisa menghentikanku. Ibarat matahari belum bergeser ke barat,” kata Devian sebelum meninggalkan kota ini.
“Memang dirimu -kita- masih muda, masih lama nunggu datangnya senja dan terbenam. Tapi matahari bisa aja gerhana kan, tertutup oleh bulan, gelap dan tak terlihat. Padahal ia masih terang benderang di atas sana. Umur manusia gak ada yang tahu,Dev,” kataku sambil menepuk pundaknya.
***
Hari ini..
Di koridor sunyi ini aku mengenang kembali kisah Devian. Sebuah kisah yang memberiku pencerahan tentang berharganya hidup. Beruntung aku pernah mengenal Devian, ikut hadir di beberapa scene kehidupannya. Sudut mungil di Kampus ini, yang kadang tak terjamah, kian memberiku arti dan sejarah. Asaku, selalu ada untuk mereka yang seperti Devian.
***
0 comments:
Post a Comment