Sandiwara Indah Bukan Hanya Dongeng
Agustus 2009
Rasanya aku tak seberuntung orang lain yang mampu mengutarakan indahnya bait cinta dan menggenggamnya penuh arti meniti satu jalan pasti dimana tersimpan satu tujuan indah. Aku hanya mampu merasakan cinta tanpa mereguk keindahannya. Aku harus puas dengan tetap berharap, bermimpi meskipun hanya dengan mengingat dongeng tentang pangeran atau ksatria berkuda putih sekalipun. Tapi aku tetap bersyukur.. karena cinta yang lain selalu bersemi mengisi kekosongan hati, mengusir kegundahan dan menyakinkanku bahwa mereka selalu ada kapanpun dan bagaimanapun diriku. Keluarga dan sahabat.. di sampingku...selalu.
“Jo,buruan turun! Kita tunggu di meja makan ya,” teriakan Josh seakan menghentikan gerakan penaku untuk menekuni baris berikutnya. Dengan segera aku membereskan catatan harianku dan segera meluncur menyusul yang lain di meja makan.
“Sayang, kok baru keliatan sih? Kemana aja hari ini? Jo marah sama bunda ya?” sederet pertanyaan yang selalu bunda lontarkan saat aku malas beranjak dari kamar.
“Bunda nih kayak gak tahu dia aja. Diem di kamar, muter lagu-lagu klasik campur jazz terus menghayal pangeran tampan berkuda putih. Bener-bener aneh, padahal udah kuliah,” cerocos Josh yang memang sedari tadi pengen banget bikin iseng.
“Heh, Josh jelek..sok tahu...belum pernah digelitikin pake garpu ya?” kataku pada akhirnya.
Bunda hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kami berdua, sudah biasa, dan itu menjadi hiburan baginya saat ayah tak berda di rumah seperti sekarang ini.
Namanya Joshua, dia sebenernya kakakku tapi aku gak mau kalau harus memanggilnya ‘kakak atau abang’ karena cuma selisih dua tahun dan itu juga yang membuat hubunganku dengan Josh cukup dekat. Josh di mata temen-temen kampusnya adalah seorang yang cakep dan pinter bergaul, jadi gak salah kalau dia masuk di jurusan public relation. Ada satu lagi kakakku, namanya Julian. Dia yang tertua dan sekarang lagi konsentrasi ama kerjaannya di London. Bikin iri aja Bang Ian nih, dia dapat kesempatan kerja di kantor berita yang diidamkan banyak orang termasuk aku. Kadang Bang Ian juga menjadi tempatku berkeluh kesah kalau tak ada bunda dan ayah. Aku sendiri Joanne, si anak bungsu dan perempuan kedua yang disayang ayah, tentunya setelah bunda. Aku masih kuliah sama seperti Josh tapi di Sastra Indonesia. Aku suka nulis terutama catatan harian, masih menyukai kisah-kisah dongeng dan itu pula yang membuatku selalu jadi bahan ejekan Joshua.
September 2009
Untuk kesekian kali aku membiarkan hatiku membeku sampai Pangeran berkuda putih menjemputku dan membawaku hidup bersama dalam istana kebahagiaan. Hatiku telah mengukir satu nama dan membuatnya enggan untuk bermain mata. Apakah aku bersalah jika aku berjanji pada hatiku untuk tidak mengkhianatinya? Entah.. banyak rasa yang tak terungkap dengan kata dan terkadang kata juga tak mampu menguraikan rasa.
“Kenapa lagi, Jo? Kenapa gak cerita ama bunda aja atau minta tolong ama Josh?” kata seseorang di ujung telepon sana.
“Bang Ian nih, Josh tu gak bisa ngasi solusi, yang ada dia malah ngrecokin. Bunda lagi nemenin ayah ke Jogja jadinya gak bisa cerita banyak. Ayolah Bang , dengerin cerita Jo bentar aja,” kataku sedikit memohon.
“Berita bagusnya, kamu beruntungJo, sekarang abang lagi gak terlalu sibuk. Chat abang ya!” ujarnya sebelum menutup gagang telepon.
Sebenarnya aku malu menceritakan cerita yang sama pada Bang Ian, tapi mau bagaimana lagi karena hal itu kembali dan selalu terulang pada diriku. Beberapa hari yang lalu ada temen kampus dan juga temen kantor yang melontarkan kata-kata yang sedikit menyinggung perasaanku. Aku dibilang gak normal gara-gara aku tak pernah terlihat menjalani suatu hubungan dengan lawan jenis, entah itu pacaran atau hubungan khusus lainnya. Memang aku lebih suka berteman sebanyak-banyaknya dan dengan siapa sajadaripada menjalani hubungan yang aku rasa gak banyak memberikan manfaat, seperti kata bunda. Awalnya aku cuek aja, karena memang tak pernah mau ambil pusing dengan sesuatu yang gak penting. Tapi lama kelamaan aku merasa terganggu. Untuk itulah saat ini Bang Ian rela ku curi waktunya untuk mengobrol lama.
Tak banyak yang tahu kecuali Bang Ian, Josh dan juga Daisy temen sekelasku. Ada satu sosok makhluk yang sempurna yang hingga saat ini aku kagumi, selain ayah . Namanya Jonathan, temen SMA yang dulu pernah satu kelas namun hanya sebentar karena orangtuanya dipindah-tugaskan di Surabaya.Ternyata nasib mempertemukan kami kembali pada satu pagi di Bandung, di kampus yang sama. Belakangan aku tahu dari Daisy, dia kuliah di arsitektur. Bisa dibilang Nathan adalah orang yang juga berpengaruh dalam kehidupanku. Meskipun belum begitu mengenal dekat, pertemuan singkat di bangku sekolah masih membekas dan terbawa hingga saat ini, saat aku berada di bangku kuliah.
“Jo, gak ngantor? Masalah yang kemarin udah kelar kan?” kata Daisy yang tiba-tiba muncul dan menjejeri langkahku menuju bangku taman.
“ Aku kan freelance Des, jadwalku setor muka juga di akhir pekan aja. Sengaja disesuaiin ama jadwal kuliah, biar gak ganggu. Oh iya, masalah tempo hari uda aku coba lupain. Bang Ian banyak ngasih nasehat kok, bener-bener ngebantu. Gak kayak Josh,” kataku ringan dan sedikit tersenyum.
“Syukurlah kalau gitu. Ada kabar yang bikin gak enak lagi nih Jo.Soal Nathan...” ujar Daisy yang terus bercerita tanpa peduli apa yang tengah aku rasakan. Untuk pertama kalinya diriku malas dan enggan mendengarkan, tak seperti biasanya yang antusias saat Daisy menyebut satu nama itu.
Entah kenapa hatiku menjadi kacau saat mendengar cerita Daisy tadi siang. Nathan yang selama ini tak pernah luntur dari ingatan , yang selalu aku kagumi bahkan hingga hadirnya kembali di sini, di kota ini, telah meruntuhkan segenap harapanku yang mulai bersemi. Nathan telah bertunangan dengan seseorang yang sangat aku kenal. Dena, sepupuku yang ada di Jogja. Dan ternyata baru aku sadari belakangan, ini adalah tujuan kedua dari perjalanan ayah dan bundaku di kota itu selain karena urusan trading. Bodohnya aku baru bisa membaca semua ini sekarang. Aku ingat, seminggu lalu bunda memang berniat mengajakku pergi ke Jogja untuk menemaninya bersama ayah dan mengunjungi Tante Lena, bundanya Dena. Memang setelah bunda tak berhasil membujukku, Dena sendiri memintaku untuk ikut bersama bunda dan ayah karena ada yang ingin ia sampaikan kepadaku, sesuatu yang sangat penting. Namun pada saat yang bersamaan, aku menolaknya karena alasan pekerjaan. Dan sekarang, aku mulai mengerti tapi sebenarnya sulit untuk dimengerti. Sakit. Itu saja.
Oktober 2009
Untuk sementara ingin aku menjadi seorang yang sangat egois. Aku perlu waktu untuk memahami semua ini. Kesakitanku terlalu dalam hingga aku tak mampu merapatkan kembali luka yang semakin menganga. Tak akan ada lagi pangeran berkuda putih yang datang dalam imajiku, tak akan ada lagi dongeng indah yang selalu menemaniku.
“Jo, are you okay?? Jo?Haloooo.. “
Aku tertegun di belakang meja kerjaku ketika suara halus itu menyapaku. Hah, Mbak Shasa nyamperin ke sini. Bakalan kena semprot nih gara-gara gak fokus. Batinku.
“Eh, Mbak Shasa.. maaf, bentar lagi selesai kok. Tinggal edit dikit ama ngerjain finishingnya,” kataku yang ter buru-buru menatap keyboard dan memulai mengetik.
“Jo, lihat aku. Kamu lagi ada masalah ya? Kalau kamu butuh waktu untuk menyelesaikan masalahmu, selesaikan segera. Aku sendiri gak pengen pekerjaan kamu jadi kacau dan mempengaruhi kinerja yang lain. Kamu udah bekerja keras beberapa hari ini bahkan aku perhatikan, kamu juga sempat bolos kuliah kan? Biar Rendi yang selesain editingnya sampai selesai,”
“Tapi Mbak.. ini kan tanggungjawab aku dan...”
“Gak papa, aku pengen liat Joanne yang biasanya, bukan yang seperti ini. Good luck ya Jo” kata Mbak Shasa pada akhirnya sambil meninggalkan meja kerjaku.
November 2009
Hari-hari semakin berat aku jalani. Aku merindukan dongeng-dongeng lamaku. Tapi aku tak bisa karena dengan mengingatnya rasa sakitku kembali hadir seperti dulu meskipun aku telah melupakannya. Aku telah berusaha melepasnya, mencoba mencari kebaikan yang tersimpan atas apa yang aku alami. Mungkin semua ini memang lebih baik adanya. Satu hal yang pasti, kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Sesederhana itu.
Sosok itu benar-benar sempurna. Di balik balutan jas putih dengan ornamen-ornamen keperakan dia berdiri dengan gagah mengedarkan senyuman ke segala penjuru. Sama seperti pangeran berkuda putih yang sering aku bayangkan dalam duniaku sendiri. Hari ini hari bersejarah baginya, dan aku berjanji tak akan ada air mata yang mengiringi setiap detik nafas kebahagiaannya.
“Bengong aja kamu Jo..” kata Joshua yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.
“Apaan sih, ganggu aja. Eh, Josh.. aku cantik kan pake gaun ini? Tadi bunda yang dandanin.”
“Sebenarnya kamu sedih kan Jo, harus melepaskan pangeranmu untuk orang lain?”
“Joshh.. uda deh, aku gak papa. Pokoknya ini yang terbaik. Aku turut bahagia kok. Ayo!!” aku tersenyum lalu menggandengnya menuju tempat akad nikah, menghampiri bunda, ayah dan juga Bang Ian yang terlebih dahulu sampai di sana.
Secepat itukah Joanne mampu meyakinkan dirinya dan tak larut terlalu lama dalam kepedihannya? Tak ku sangka dia begitu tegar dari yang ku kira. Batin Joshua, yang semakin kagum pada adik perempuannya itu.
Semua tamu undangan telah memenuhi tempat yang bernuansa putih-keperakan itu. Jonathan, sang pangeran, terlihat makin bercahaya di tengah kerumunan orang yang siap menyaksikan setiap detik berharga bagi kehidupannya. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya dan tanpa sengaja mata kami bertemu pada satu titik yang membawa kesejukkan dan keteduhan sendiri untukku. Tersipu.
Semua orang seperti tak sabar menantikan calon pengantin perempuan, termasuk aku. Waktu seperti berjalan lambat, dan sedikit mengundang pertanyaan, kemana gerangan? Tiba-tiba sebuah mobil berhenti dan parkir sembarangan di depan gerbang. Seseorang berlari menuju tempat kami semua berada. Mengenakan gaun putih biasa tanpa hiasan. Dena.
“Mohon maaf semuanya, saya tak bisa melanjutkan acara ini. Sudah saya pikirkan dengan matang dan tentu saja atas persetujuan orang tua saya. Sebelum semuanya terlambat, saya ingin meluruskan bahwa saya tidak akan menikah dengan Jonathan.” Kata-kata Dena mengalir lancar tanpa beban dan isak tangis. Semua hadirin yang mendengarnya terkejut terlebih Jonathan yang sedari tadi terlihat sedang menata hatinya.
Dena menarik nafas panjang dan melanjutkan kembali kata-katanya. Kali ini pandangannya menuju ke arah Jonathan.
“Nath... kebahagiaan itu datang karena ketulusan cinta yang sempurna, bukan karena suatu keadaan yang malah membuatnya tersiksa. Aku yakin, hatimu menyimpan satu nama yang memang sejak awal dia yang jadi pilihanmu, satu nama yang telah terpilih di hatimu. Dirimu berhak bahagia, Nath, tanpa harus mengorbankan apapun.“
Jonathan terdiam, sesekali menunduk dan merenungi perkataan Dena yang tengah menggema di hatinya. Galau. Di saat yang sama Joanne terlihat menggenggam tangan bundanya dan menatapnya halus seakan mengisyaratkan tanya, sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Orangtua Jonathan adalah rekan bisnis Tante Lena, Dena sendiri juga bersahabat baik dengan Nathan semenjak mereka kuliah di satu jurusan yang sama dan saling mengenal satu sama lain. Dari situlah orangtua dari kedua belah pihak sepakat untuk menjodohkan mereka. Tapi ada satu hal yang tak diketahui oleh orangtua mereka masing-masing bahwa selama ini mereka telah memilih jalannya sendiri. Hati Dena bukan milik Nathan, tapi untuk seseorang yang hingga saat ini sangat setia menemani liku kehidupannya, Dhimas, sebuah nama yang rasanya tak asing bagiku tapi sulit bagiku untuk mengingatnya. Sedangkan Nathan, aku tak tahu pasti kemana hatinya berlabuh tapi kata Daisy ada seseorang yang membuatnya kagum sejak awal pertemuan mereka meskipun belum sempat ia mengenalnya lebih jauh. Untungnya orangtua mereka berdua mau mengerti dan tak memaksa untuk melanjutkan perjodohan itu. Lega. Mungkin perasaan itu yang kini dirasakan baik Dena maupun Nathan. Bahkan aku. Tak sadar senyuman tulus tersungging dari bibir Bang Ian dan Joshua yang sedari tadi mengamatiku.
“Jadi… acara akad hari ini batal?” kata seorang tamu undangan di sela keriuhan dan rasa penasaran para undangan yang lain.
“ Sepertinya tidak..” kata Dena spontan sekaligus mengejutkan semua orang yang hadir di tempat itu tak kecuali aku sekeluarga, terlebih Tante Lena dan orangtua Jonathan.
“Dena… jangan main-main!!” Tante Lena berdiri dari tempat duduknya dan berseru lirih.
“Enggak, Ma…,” sahut Dena sambil tersenyum dan melirik ke arah Nathan.
Nathan segera meninggalkan tempat duduknya serta beralih menghampiri kedua orangtuanya. Ketiganya terlihat mendiskusikan sesuatu dan mengembanglah senyuman hangat yang sangat dirindukan Nathan dari kedua orangtuanya. Tanpa menunggu lebih lama lagi dan segera menyambut kode-kode halus yang diberikan Dena, Nathan berjalan menuju sumber suara dan mengambil alih microphone.
“Mohon maaf.. membuat Anda sekalian menunggu lama dan ikut terjebak dalam ‘sandiwara’ ini. Hari ini saya memang tak akan mengucapkan ikrar suci bersama Dena, tapi saya juga tidak akan membiarkan acara ini selesai begitu saja tanpa sesuatu yang bermakna.”
Ada desir tanya yang benar-benar tak dapat dipahami. Ada apa ini? Di antara bisik-bisik keingintahuan yang kian merebak , suara merdu Nathan kembali menggema.
“Dengan penuh kerendahan hati, saya meminta kepada Anda sekalian untuk menjadi saksi saya…..,” kalimat Nathan tiba-tiba terputus dibarengi dengan nafas panjang yang mencari celah kecil untuk melanjutkan kembali perkataannya.
“…. meminang sekaligus menikahi seorang putri yang selama ini hanya dapat saya dekati lewat mimpi, dan orang-orang terdekatnya. Putri yang selama ini saya cari sekaligus yang menjadi labuhan terakhir bukan hanya ada dalam mimpi ataupun dongeng-dongeng fiksi. Tapi saya tahu, tanpa ia sadari, hari ini ia telah hadir menjemput bahagianya….. Would you be mine, Joanne??” Nathan mengakhiri perkataannya dan disambut keriuhan serta senyuman manis kedua orangtuanya.
Aku tertegun mendengar apa yang baru saja ia katakan. Sedari tadi aku hanyut dalam rangkaian kata-katanya dan pada waktu yang bersamaan aku tak mampu berkata apapun juga. Josh, Bang Ian yang ada di sampingku menepuk pundakku bersamaan, bunda menghampiriku dan memberikan pelukan hangat serta ayah yang turut mengusap lembut kepalaku. Terharu.
Suara itu kembali menggema, seolah menanti kepastian dan memecah keharuan.
“Joanne.... Do you hear me? Mungkin terasa aneh karena ini terkesan mendadak, tapi tidak. Semua ini mengalir apa adanya. Mungkin kamu pikir aku mengenalmu hanya melalui nama, tapi tidak. Aku mengenalmu lebih dari yang kamu kira. Hidupku seperti tidur panjang yang sama sekali aku tak ingin terbangun. Karena jika aku terbangun, aku tak bisa menghadirkan dirimu dalam duniaku. Aku takut kehilanganmu, tapi tidak untuk hari ini. Hari ini adalah hidupku yang sebenarnya, apa yang aku inginkan ada di pelupuk mata. Izinkan aku membawamu menuju istana kebahagiaan... Joanne, will you marry me?” Nathan mengungkapkannya dengan sempurna, bait-bait indah itu terdengar merdu dan bernafaskan keyakinan.
Aku tak sanggup berkata-kata. Tak ada kata yang mampu menuliskan rasa bahagiaku saat ini. Hanya butiran air yang mengalir lembut dari ujung mata. Haru. Ini bukan sekedar dongeng, ataupun cerita dalam mimpi. Pangeran itu benar-benar ada dan hari ini dia menjemputku, membawaku menuju ranah baru. Hari ini tak akan aku siakan, mungkin memang satu nama yang telah terukir itu adalah Nathan. Tak ada yang terkhianati, tak ada yang tersakiti.. akhirnya aku menggangguk pelan dan berucap mantap, “Ya. Aku mau”, sembari diiringi tepuk tangan riuh dari semua yang hadir waktu itu dan senyuman Jonathan yang kian mengembang .
Desember 2009
Tak ada yang dapat menerka misteri kehidupan di dunia. Semua itu telah tertulis, tergaris rapi dan menjadi rahasia bagi Sang Maha Cinta. Kepedihan, Kebahagiaan terjalin dalam satu ikatan yang tak dapat terpisahkan. Ketika datang masa suram, tak akan lama masa yang cerah akan menggantikannya. Tuhan memang tahu yang tersimpan di setiap relung hati ciptaannya. Tak ada yang terdustakan.
Aku mulai berani membawa dongengku kembali seperti sedia kala. Masih bersama pangeran berkuda putih. Tapi kali ini, aku tak akan takut kehilangan dia. Dia tak hanya ada dalam dongeng tapi juga ada di dunia nyata. Di sini. Di sampingku.
Belakangan aku tahu, Josh dan Bang Ian sedikit terlibat dalam ‘sandiwara’ indah itu. Mereka punya kenalan arsitek yang juga rekan kerja Jonathan. Mereka semua mulai akrab sejak pertemuan yang tak disengaja beberapa tahun yang lalu saat Jonathan mulai merintis usaha design interior yang ia tekuni bersama Dhimas, teman sekelasnya, di tengah kesibukan kuliah. Dari situ dia mengenal Dena, putri tunggal Tante Lena yang menjadi rekan bisnis ayah Nathan, yang saat itu juga tengah dekat dengan Dhimas. Hingga pada akhirnya tercetuslah rencana perjodohan itu.
Jonathan mengenalku lewat Joshua dan Bang Ian, dari mereka mengalirlah cerita-cerita tentangku. Meskipun bukan tentang perasaanku karena aku yakinJoshua dan Bang Ian sangat lihai menyimpan rapat cerita-ceritaku. Rasa ingin tahu Nathan membuatnya semakin ingin mengenal sosok Joanne yang sebenarnya. Dan lewat ‘sandiwara’ indah itu dia menemukan semua jawaban atas keingintahuannya. Apa yang ia rasakan bergayung sambut dengan apa yang aku rasakan. Skenario yang sempurna ciptaan Sang Maha Cinta sedang kami perankan bersama saat ini. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Seperti air yang selalu tahu kemana ia harus mengalir...dan semua indah pada waktunya.
April 2011,
antara Jogja-Magelang
satu kisah yang tak pernah usai
3 comments:
ntah q yg ge mellow ato ne nyentuh bget..
tp yg psti..
q meweeeeeeeeeeeeeeeeekkkk..!!!!
tanggung jwab ia bu boz..!!!
:p
hehe.. aslI MEWEK?? bener2 menye yaa??
haduh keike hrz nny jg k kaum adam nih, apakah mrk jg ter'menye'..haghaghag.. :)
bdw,tenkiuu yakk!!
smg ada 'kisah' Lg yg bs dnikmati brsma :D
Like this untuk Postingan u ini....
tp q gk sampai mewek Lho.. :D
Post a Comment