Mar 29, 2011

#4

Tak Mudah… Keputusan Tak Luput dari Kesalahan

“Ya ampun.. kosong lagi nih kuliah kita pagi ini? Haduh, kalau terus-terusan begini mau jadi apa kita? Capek aku bolak-balik ke  kampus tanpa ada yang nyangkut di otak. Kagak nyadar apa kalau begini ini rugi waktu,” cerocos ku di tengah hiruk pikuk suasana kampus pagi itu.
“Udalah Na, mungkin emang dosen kita lagi ada keperluan penting lain. Eh, liat nih ada hot news!!” Kata Gendis sambil menyerahkan satu lembar bulletin kampus yang ia bawa dari tadi.
Nara mengambil dan lekas membacanya. Dengan seksama ia tekuni tiap kata yang tertulis, tatapannya semakin lekat pada barisan tulisan pada bulletin yang sedang ia baca.
“Oh.. soal akreditasi itu…Aku udah tahu beritanya kemarin, dari mulut ke mulut. Yah, mau gimana lagi, banyak pihak yang kecewa.” kataku pada akhirnya.

Ternyata isu yang beberapa hari ini santer terdengar akhirnya memang terbukti kebenarannya. Akreditasi Program Studi Bahasa Inggris di Kampusku belum seperti yang diharapkan. Nilainya C. Antara harus diterima dengan hati terbuka, tetap bersyukur namun juga ada desir kekecewaan. Siapa yang salah? Ah, tidak, seharusnya pertanyaannya “apa yang salah?”. Batinku.

“Heh, kok jadi bengong sih Na? Komentar kamu cuma gitu aja?” ujar Gendis yang masih keheranan melihat sahabatnya itu terdiam.
“Ndis, kita ikut demo yuk!! Hari ini anak-anak PBI semua semester mau ke rektorat, ayok kita gabung sama mereka!” aku berteriak antusias dan tersenyum yakin ke arah Gendis.
“Kamu serius? Ikutan demo, Na? Aku belum pernah.” kata Gendis yang sedikit tak yakin.
“Aku juga belum pernah. Kita pinjem almamater terus ikutan ngumpul di hall. Buruan Ndis, ntar kita ketinggalan.” ucapku seraya menggandeng tangan Gendis.

Hari ini anak-anak PBI dari seluruh angkatan bersama dengan gabungan beberapa prodi (program studi) lain akan beranjak menuju rektorat. Tak lain dan tak bukan adalah menyuarakan pikiran mereka tentang apa yang tengah dialami prodi. Akreditasi yang memburuk. Berbekal semangat yang membuncah, menyeruak bersama suara-suara lantang yang ingin didengarkan oleh orang nomor satu yang tengah duduk di gedung megah bertuliskan barisan huruf yang rapi dan berkilau bak emas, “rektorat” UAD.


Di auditorium yang cukup besar, kami semua akhirnya dipertemukan dengan rektor dan jajarannya yang juga tengah bersiap menerima “serangan’ dari kami. Ruangan makin penuh sesak, riuh namun tetap terkendali. Tak ada kekerasan, tak ada penyelewengan hak apa pun. Siapapun boleh berpendapat mengemukakan suara hatinya. Intinya sama, Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Bagaimana bisa kondisi. Apa yang salah? Siapa yang patut dipersalahkan?  Hingga pada satu titik, kami semua yang hadir pada saat itu menginginkan kejelasan dan sebuah perjanjian tertulis yang isinya perbaikan tentang ‘musibah’ yang tengah kami alami.

“Kami enggan meninggalkan tempat ini jika Bapak belum menandatangani surat itu!!” teriak seseorang yang ada tak jauh dari tempatku berpijak.
Yang bersangkutan tidak bergeming. Belum ada tanda-tanda hendak melontarkan kata-kata sakti. Beliau masih terdiam mendengarkan, sesekali berbisik pada seseorang di sampingnya.
“Kami tak akan tinggal diam, harus ada perbaikan setelah ini. Janji Anda kami pegang, tapi kami juga butuh bukti. Dan bukti itu adalah penandatanganan ini!” teriak seseorang lain yang kemudian disusul beragam suara lainnya.

Aku, Gendis dan ratusan mahasiswa yang lain seperti menunggu sesuatu yang tak pasti di dalam ruangan yang penuh sesak ini. Asal tahu saja, semakin siang menjelang sore makin banyak teman-teman seperjuangan yang datang merapatkan barisan dan memberi dukungan. Tak hanya prodi kami, tapi dukungan juga mengalir dari prodi yang lain yang masih satu atap di bawah naungan fakultas pendidikan.

Mahasiswa bahasa Inggris bisa dibilang over load dibandingkan dengan yang lain. Bagaimana tidak, setahun terakhir, kuota yang seharusnya telah terpenuhi harus ditambah secara paksa tanpa mempertimbangkan hal lain yang tak kalah penting. Tak hanya sekedar niat untuk lebih banyak mencetak manusia yang cerdas dan bermoral, tapi mungkin Bapak/Ibu yang di atas sana lupa bahwa input yang banyak tapi tidak diimbangi dengan sarana dan prasarana yang mendukung adalah nol besar. Apa mereka peduli dengan kekurangan tenaga pengajar yang berkompeten dibidangnya? Apa mereka tahu bahwa tidak semua mahasiswa dapat menikmati fasilitas kampus dengan leluasa? Jangankan menikmati alih-alih malah harus siap tidak mendapat kelas dan tempat duduk.
Sungguh, perhelatan hari ini benar-benar melelahkan. Ibarat belanja di pasar, terjadi tawar-menawar yang alot.

“Na, kita pulang yuk. Udah sore banget nih. Kamu gak capek?” kata Gendis menyeretku keluar meninggalkan forum.
“Sebenernya aku juga. Ya udah kita pulang. Ntar kita tunggu kabar selanjutnya dari mereka,” kataku pada akhirnya
“Semoga aja capek kita terbayar lunas ya, Na. Dan mendung yang tengah menyelimuti kita semua bisa memudar menjadi cerah secerah alamamater kita,” ujar Gendis sambil tersenyum usil.

Setelah penantian panjang dan melelahkan, akhirnya rektor bersedia menandatangani surat yang intinya adalah usaha perbaikan setelah ini. Sedikit lega mendengar, melihat keputusan itu, terutama bagi kakak tingkat yang agaknya mempermasalahkan hal ini. Yang jelas, tetap ada harapan dan asa yang baru setelah kejadian ini.

Di kamar ini…
Aku berhenti memutar ingatanku tentang demo akreditasi yang terjadi tempo hari. Aku adalah bagian dari ratusan makhluk yang bertandang dengan gagah di dalam sana. Meskipun waktu itu aku dan Gendis tak benar-benar tahu tujuan kami mengikuti aksi itu. Khususnya pada diriku,yang ada di pikiran saat itu hanya ingin ikut merasakan berdemo dan berteriak. Aku ingin tahu apakah aksi demo itu seperti yang sering aku lihat saat di Ambon dan di Makassar. Tak lebih dari itu. Menggelikan.

Tapi aku bukan apatis. Yang tak mau tahu bahkan tak peduli dengan keadaan di sekitarku. Aku pribadi prihatin mendengar hasil akreditasi yang tak memuaskan itu. Tapi kalau untuk menyalahkan orang lain termasuk beliau-beliau yang ada di atas sana, rektor dan para jajarannya, aku sedikit tak setuju. Andaikan aku di posisi tertinggi itu, andaikata aku sendiri yang jadi rektornya, mungkin akan sulit mengambil sebuah keputusan yang tak luput dari kesalahan. Keseimbangan. Satu hal penting yang aku petik dari kejadian ini, dan tentunya hikmah lain yang tak kalah penting.

Saat ini bukan saatnya melihat pada orang lain apalagi hendak menyalahkan. Biarlah yang buruk adalah rupa tapi tidak pada hatinya. Begitu juga dengan hal ini, tak perlu mempermasalahkan baik-buruk akreditasi yang terpenting adalah diri kita seutuhnya. Baik ataupun buruk, kita sendiri yang mengarahkan. Kewajiban kita di sini, di tanah rantau, adalah belajar, mencari ilmu, dan menunaikan amanat orang tua untuk menjadi orang yang bermanfaat. Kalau seperti ini adanya, diri kita atau keadaankah yang harus berubah? Suara hatiku yang semakin tegas bergelut dengan pikiran yang sedari tadi melayang.

Hari ini…
Aku mempetakan kembali niatku untuk tak lagi ikut menyesali apa yang telah terjadi. Aku lebih baik dari sekedar penilaian akreditasi. Masih ada Tuhan yang menyimpan banyak rahasia dan rencana indah sehingga kecemasan tak seharusnya membayangi. Hari ini milikku, ini adalah hakku untuk menjadi sukses!!


Magelang, Maret 2011
Di ujung deadline
*Lintang Pambarep

 

1 comments:

Teddi Roedikie said...
This comment has been removed by the author.

Post a Comment